International Women's Day: Pekerja Perempuan Menuntut di Jalanan
Jakarta (8/03) - Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, Women March Jakarta bersama dengan beberapa koalisi aliansi perempuan Indonesia menggelar long march. Long March dimulai dari jam 10 pagi di depan Bawaslu sampai ke depan patung kuda istana negara seberang taman aspirasi Monas, Jakarta.
Ada yang berbeda dari long march di tahun sebelumnya. Kali ini KASBI ikut
dalam aksi International Women’s Day demi menyuarakan hak-hak buruh perempuan
di Indonesia. Bukan hanya perempuan dan ibu-ibu buruh yang turun ke jalan,
komunitas LGBTQ dan bapak-bapak pun juga ikut turun menyuarakan keresahan
mereka. Tetapi sedihnya, dari dalam barisan Long March sendiri masih ada
perempuan jemaat aksi yang mendapat pelecehan secara verbal karena
pakaian mereka atau poster yang mereka buat.
Pelaku pelecehan tersebut mayoritas massa aksi bapak-bapak yang
sebelumnya belum pernah tahu apa itu feminisme dan ikut hadir di atas aspal
bersama dengan perempuan-perempuan kuat hanya karena ikut ramainya saja dan ia
salah satu buruh terancam karena RUU omnibuslaw. Bukan hanya bapak-bapak
konservatif, anggota kepolisian yang berjaga juga melakukan pelecehan verbal
berupa catcalling dan bercandaan seksist kepada massa aksi. Ruang umum
yang seharusnya menjadi nyaman dan aman bagi segala gender, malah menyudutkan
perempuan. Ironisnya lagi, hal ini terjadi di hari perempuan.
Women March Jakarta dan Komnas Perempuan sudah menindak lanjuti kasus
ini dengan membuat link untuk melaporkan tindakan-tindakan pelecehan yang
terjadi di hari ulang tahun perempuan itu. Thread-thread di Twitter juga
mulai bermunculan tentang penyitas yang menceritakan tindakan yang mereka
dapatkan pada siang hari di sekitar Tugu Monas.
Polisi Wanita di Garis Depan
Selain massa aksi yang berbeda
dari tahun-tahun biasanya karena ditambah oleh bapak-bapak buruh dari KASBI,
petugas keamanan juga berbeda dalam aksi tahun ini. Dalam aksi-aksi pada
umumnya yang dilakukan mahasiswa atau aksi kamisan yang rutin diadakan setiap
hari kamis demi menegakkan kasus HAM yang belum tuntas, polisi laki-laki muda
dengan sigap menjaga massa aksi dari kerusuhan yang berpotensi terjadi—walau kenyataanya
rusuh itu dibuat oleh pihak kepolisian sendiri yang kadang-kadang suka iseng
memainkan water canon. Kali ini polisi wanita menjadi di garis terdepan seperti
membuat barikade untuk polisi laki-laki di belakangnya. Hari itu adalah hari
untuk perempuan, tetapi agak aneh rasanya hanya karena hari perempuan lalu
polisi yang bertugas di hari itu juga perempuan. Di mana peran mereka di
hari-hari biasanya? Hal ini malah mencerminkan pencitraan daripada pola kerja
polisi itu sendiri. Jangan karena hari perempuan, maka polisi perempuan yang
bertugas pada hari itu dan di hari-hari lainnya mereka tetap disembunyikan di
belakang karena alasan gender. Sudah bukan lagi jamannya kesenjangan sosial di
era globalisasi. Berikan hak yang sama dalam pekerjaan tanpa harus melihat
gender atau karena momen.
Komentar