Jalan-Jalan Ke Jepang, Jangan Lupa Membeli Roti. Et dah, Kejauhan!
Tagar WFH atau Work From Home,
self quarantine, segala macam pekerjaan luar rumah yang dialihkan ke dalam
rumah, menjadi trending topic sampai waktu yang belum dapat
ditentukan. Miris sekali, pekerjaan yang semula mudah dikerjakan malah jadi
agak rumit dan menumpuk karena sistem online. Jujur, saya sebagai mahasiswa
yang tumpukan tugas lebih banyak dan ribet daripada tugas biasanya, malah jadi
makin malas mengerjakan. Kalau sudah begini, kerjaan saya hanya merebahkan diri
di atas kasur lalu otak saya berkelana kemana-mana.
Kurang lebih setengah jam saya
memikirkan mengapa orang-orang menyebut pembalut wanita dengan nama roti Jepang?
Padahal dibuatnya bukan di Jepang dan enggak ada roti yang bentuknya seperti
pembalut. Sekali pun ada, mungkin untuk properti halloween. Oh, ya, sekadar
mengingatkan, halloween itu bukan budaya kita, ya. budaya kita itu mencari pembalut
di kelas bisik-bisik ke teman tepat di telinganya dengan kalimat andalan, “Eh,
ada roti jepang enggak?” sudah seperti mau transaksi narkoba.
Tiga puluh menit dihabiskan untuk
berpikir, lalu ditambah lagi satu jam—mungkin dua, atau tiga—untuk mencari
sejarah tentang pembalut wanita sambil surfing di twitter, diving di
youtube, dan stranded di wikipedia. Sebelum saya beritahu apa-apa saja
yang saya temukan, alangkah indahnya kalau saya kasih spoiler dulu. Selain
minta pembalut seperti transaksi narkoba, tukang spoiler juga budaya di
Indonesia, bukan? Jadi begini spoilernya, setelah main-main di kitab
dunia maya alias wikipedia, Jepang tidak ada dalam catatan perkembangan
pembalut. Pembalut wanita itu pertama kali digunakan pada abad ke 10 di Yunani.
Lalu pada abad 9 dan sebelum-sebelumnya perempuan menggunakan apa? Mungkin sesuatu
yang sebentar-sebentar harus dicuci atau bertapa diam agar darahnya tidak
berceceran. Terbayang tidak, sih kalau hidup di jaman dulu? Pasti risih
sekali rasanya pendarahan dan nyeri di otot-otot pinggang sampai pangkal paha
tanpa pembalut yang nyaman.
Konon katanya, pada abad ke-10
ada seorang perempuan yang melempar pakaian menstruasinya yang berupa kain
bantalan atau celemek. Kalau di Uganda menggunakan kertas papirus. Jaman
sekarang ketika seseorang mencari kertas papir pasti sudah beda konteksnya,
beda juga penggunannya, bukan lagi untuk membalut vagina saat menstruasi. Ah,
rasanya kertas papir jaman sekarang, laki-laki lebih mengerti, lah.
Sedangkan orang Eskimo
menggunakan bulu kelinci. Beruntung saya bukan orang Eskimo dan lahir di tahun
dua ribu, jadi tidak perlu berburu kelinci dulu di akhir bulan, jaga-jaga untuk
menstruasi di bulan berikutnya. Mana tega! Untuk pembalut masa kini di pasaran,
itu inovasi dari pembalut luka pendarahan yang digunakan dalam medis. Terbuat dari
bubur serat kayu, ditemukan oleh suster asal Prancis, bukan Jepang. Temuan ini
terus berkembang dari tahun 1880an sampai sekarang. Ternyata pembalut dari
bubur serat kayu pada dewasa ini menjadi kurang ramah lingkungan ketimbang
pembalut kain di masa-masa sebelumnya. Sebenarnya nenek moyang sudah
mengajarkan jadi Social Justice Warrior sejak dini, kitanya saja yang
lebih memilih hidup praktis, masalah sampah urusan belakangan. Tapi tenang,
untuk mereduksi sampah bekas pembalut wanita, sekarang juga sudah ada cawan
atau menstrual cup yang lebih ramah lingkungan.
Kalau mau dibuat unsur jejepangan
dalam artikel ini, jujur saya bingung karena tidak menemukan data yang sesuai
dan berkorelasi. Mungkin karena kita pernah dijajah Jepang dan orang Jepang
yang mengenalkan pembalut kepada Pribumi. Ah, romannya terlalu maksa,
tidak pernah ada sejarah yang menyebutkan tentang momen ini. Akan jadi sekadar
asumsi dan opini penulis tanpa adanya data yang mumpuni, bisa-bisa malah jadi
hoax.
Karena kegunaannya sebagai
peresap cairan seperti darah dengan tingkat resapan yang tinggi, pembalut bisa
juga digunakan untuk membalut luka seperti awal kegunaannya di Prancis.
“Bung, beri aku roti Jepang untuk
luka,” pinta seorang prajurit PETA saat perang di Blitar.
“Gimana bisa pakai roti Jepang?!
Kita punya singkong saja diambil Jepang.”
Diving, surfing sampai stranded
di dunia maya demi mencari asal-usul kenapa pembalut menstruasi disebut
dengan roti Jepang pun nihil. Rasanya ingin melakukan pesugihan saja untuk
memanggil Nenek Moyang dan menuding mereka satu persatu sampai mengaku siapa
yang pertama kali menyebarkan istilah roti Jepang. Eh, maaf ya, Nenek Moyang,
tadi itu bercanda. Tenang-tenang di alam sana, terima kasih juga atas jasanya.
Masalahnya, ini bukan hanya
masalah ketabuan orang Indonesia sampai mengganti sebutan pembalut jadi roti
Jepang. Masalah ini menyebar sampai keranah penistaan bendera negara orang. Begini,
sering kali perempuan curhat masalah haid hari pertama dan darahnya menembus ke
sprei kasur yang baru ia sadarin di kemudian pagi. Apa yang ia katakan saat
itu, “Gila, gue pagi-pagi sudah nyuci bendera Jepang.”
Maksudnya bendera Jepang itu, ada
noda merah di atas spreinya yang berwarna putih, mirip seperti bendera Jepang. Kalau
saya buat laporan ke Jepang tentang benderanya yang disamakan dengan darah
menstruasi dan Jepang tidak suka, apa kita semua sudah siap untuk perang lagi?
Terus, terus, kalau spreinya
warna putih dan biru, lalu ada darah haid di atasnya, itu jadi meledek bendera
Belanda. Gimana, apa kita butuh pahlawan nasional sekelas Hariyono dan Koesno
untuk merobek bagian birunya biar jadi bendera Indonesia? Tapi setelah dicuci,
ya percuma, warna merahnya hilang, tinggal warna bendera putih, lambang
menyerah.
“Makanya pakai No Drop (merk cat)
anti bocor.”
Excuse me, haruskah vagina
saya dicat seperti silverman untuk kedok mengemis? Kenapa juga silverman
harus mengecat tubuhnya demi dapat uang, padahal ia juga bisa bertepuk-tepuk tangan
sambil nyanyi lagu galau di depan warkop sampai ada yang memberinya uang
recehan. Bukannya membeli cat warna perak itu malah menghabiskan uang ya?
Apa susahnya, sih,
mengakui kalau sedang haid tanpa harus menutup-nutupinya? Semua orang juga
tahu, perempuan mempunyai siklus menstruasi di mana rahim melepaskan sel telur
yang tidak dibuahi. Itu normal dan bukan hal yang tabu. Toh, laki-laki
di kelas juga tahu ketika teman perempuannya sedang mencari roti Jepang itu
tandanya ia sedang haid. Tidak perlu menutupinya seperti orang transaksi
narkoba, Cantik. Tidak perlu juga merubah nama menstruasi atau haid dengan
istilah ‘dapet’. Kamu dapet apa? Dapet hikmahnya? Okay, kalau begitu,
mudah-mudahan dapat hikmahnya setelah baca hasil pemikiran saya yang menjelimet
ini.
Sudahlah, berhenti jadi orang
tabunya. Katanya millenial si penganut gaya hidup modern abis, masa menyebut nama
pembalut masih roti Jepang? Sadar tidak, kelakuan konservatif seperti ini yang
membuat lingkungan sosial tidak berkembang dan hanya membuat perempuan yang
sedang menstruasi merasa malu menjadi perempuan karena ia merasa cacat setiap
bulan. So say what you want to show what you need.
Komentar