Femisida : Pembunuhan Terhadap Perempuan Karena Ia Perempuan
Jumlah perempuan korban kekerasan terus meningkat dari tahun ke tahun. Dalam Catahu Komnas Perempuan, per tahun 2019, kekerasan terhadap perempuan mengalami lonjakan naik sampai di angka 431.471 kasus yang mana meningkat 792% sejak 12 tahun lalu, meningkat hampir 8 kali lipat sejak 2008. Salah satu jenis kasus kekerasan terhadap perempuan ini adalah Femisida (Femicide) yang istilahnya masih belum dikenal olah masyarakat umum dan sering disepelekan menjadi kasus kekerasan biasa oleh lembaga penegak hukum.
Femisida yang dalam bahasa
Inggris Femicide adalah kejahatan atas dasar kebencian berbasis jenis
kelamin dengan perempuan sebagai korbannya. Dalam Catahu Komnas Perempuan 2020
dijelaskan, femisida adalah pembunuhan
terhadap perempuan karena dia perempuan. Kekerasan seperti pelucutan martabat
korban yang dianiaya, dibunuh, diperkosa dan ditelanjangi. Kasus kekerasan
berbasis gender ini sering tidak terlapor karena korbannya sudah meninggal.
Menurut Komnas Perempuan dari data yang mereka dapatkan, pelaporan atas kasus
ini masih minim dan data yang diperoleh Komnas Perempuan pun dari pemberitaan
media massa.
Kejahatan femisida biasanya
berpola, menggunakan strategi dan rencana juga dilakukan oleh orang terdekat.
Pelaku rata-rata anak muda yang berumur kisaran atau di bawah 30 tahun karena
ambisi dan emosi yang masih menggebu. Femisida ini mempunyai motif seperti
perasaan kesal menjadi dendam, kemarahan, dan politik.
“Rasa benci, tersinggung, dan
rasa kepemilikan (akan korban), ketika terjadi sesuatu (yang tidak sejalan
dengan keinginan pelaku) maka terjadilah pembunuhan,” Jelas Komisioner Komnas
Perempuan, Rainy Hutabarat saat ditemui di Hotel Mercure Cikini dalam acara
peluncuran buku Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020.
Rasa kepemilikan yang dimaksud
adalah ikatan antara korban dan pelaku, seperti suami, mantan suami, pacar atau
mantan pacar. Karena ikatan tersebut, pelaku merasa dirinyalah yang bebas
berkuasa atas korban yang sebetulnya hal itu salah dan menyimpang dari hukum.
Grafik di bawah ini menunjukkan suami adalah pelaku terbanyak dalam kasus
femisida di tahun 2019 dengan jumlah 48 pelaku, diikuti oleh pelaku yang belum
diketahui relasinya dengan korban karena minimnya data dan fakta yang terungkap
sebab korban sendiri sudah meninggal dunia.
Diana Russell, seorang penulis
dan aktivis perempuan asal Cape Town, Afrika Selatan yang sudah mengkaji
tentang isu-isu perempuan menjadi karya sastra sejak tahun 1967, menjadi orang
pertama yang menggunakan istilah femisida pada tahun 1976. Ia menggunakan kata
femisida di pengadilan internasional untuk kejahatan terhadap perempuan saat
memberi kesaksian. Russell sengaja memproklamirkan istilah femisida untuk
mempolitisasi agar orang-orang memberi perhatian kepada kasus kebencian
terhadap perempuan dan berujung kejahatan mematikan terhadap perempuan untuk
tidak lagi dilakukan.
Pada saat itu, respon masyarakat
masih kurang terhadap istilah yang ia gunakan, tetapi Russell masih terus mengadvokasi
penggunaan istilah tersebut dan sehingga gerakan feminis di dunia mulai
mengadopsi dan bergerak untuk memberantas femisida.
Pandangan di Indonesia tentang
femisida juga serupa dengan awal mula Russell mengemukakan istilah femisida
kepada umum. Femisida masih dianggap sebagai kasus kekerasan biasa tanpa adanya
aspek gender.
“Femisida masih dianggap tindak
kriminal biasa. Tidak digali, tidak ada investigasi lanjut. Kasus femisida yang
terinvestigasi hanya yang melibatkan orang yang mempunyai nama, sedangkan untuk
umum kurang diberi perhatian.”
Rainy Hutabarat sempat membahas
tentang kasus femisida yang tergali karena diadakannya investigasi, pembunuhan
terhadap seorang Dokter berinisial LS ditahun 2017. Ia ditembak oleh suaminya
sendiri, sebanyak enam peluru menembus tubuh LS dan menewaskannya seketika.
Suami yang berprofesi sama dengan LS memang sudah merencanakan kejahatannya
sejak jauh-jauh hari. Pelaku memesan pistol revolver dan sempat berlatih
menembak di lahan kosong dengan botol-botol bekas sebagai titik acuan
tembakannya. Permintaan cerai dan KDRT menjadi motif dalam kejahatan ini.
Kasus ini pun mendorong Komnas
Perempuan untuk mengeluarkan rilis tentang femisida dengan judul Alarm Bagi
Negara dan Kita Semua: Hentikan Femisida (Pembunuhan Terhadap Perempuan) di
tahun yang sama dengan kejadian di atas. Sampai dua tahun kemudian setelah
rilisan Komnas Perempuan lahir, belum ada kebijakan terkait dari pihak
kepolisian maupun negara.
“Baru 2017 (Komnas Perempuan
membuat fatwa femisida) dan rencananya akan di highlight supaya
perempuan tahu bagaimana cara perlindungan dan akses keadilan, karena ini bukan
kasus pembunuhan biasa, ini produk dari patriarki dan misoginis,” ujar Rainy
Hutabarat saat di tanya bagaimana cara penanganan dan cara mengetahui bahwa
perempuan itu sedang terancam.
Kasus lainnya terjadi pada 2016
dan sempat viral. Pembunuhan seorang karyawati dengan gagang cangkul oleh tiga
orang pemuda yang masing-masing berumur 24, 20, dan 15 tahun. Mereka bertiga
menyukai korban dan korban menolak ketiganya. Para pelaku pun merasa tidak
terima dan menghabisi korban di kamar kostnya sampai memasukkan gagang cangkul
ke organ intim korban. Kasus pembunuhan ini direncanakan secara on the spot di
dekat tempat kejadian perkara pada malam yang sama.
Dalam menindaklanjutin kejahatan
ini, pemerintah sudah mengatur dalam Pasal 44 UU Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT) dan juga di KUHP yaitu Pasal 338, Pasal
339, Pasal 340, Pasal 344, Pasal 345, dan Pasal 350. Namun untuk motif
kekerasan berbasis gender belum menjadi faktor pemberatan hukum.
Pemberitaan tentang femisida di media membuka ingatan
kembali ke tanggal 8 Mei 1993, di mana tubuh Marsinah ditemukan tidak bernyawa
setelah hilang berhari-hari paska demo buruh pada tanggal 2 – 5 Mei 1993. Andai
saja Femisida sudah dikenal luas oleh kalangan masyarakat umum di Indonesia dan
sudah mendapat perhatian khusus dari lembaga-lembaga dan pihak penegak hukum
yang bersangkutan, mungkin tidak akan pernah ada Marsinah-Marsinah lainnya,
atau bahkan Marsinah masih hidup dan dikenal sebagai aktivis senior, bersahabat
dengan Ibu Sumarsih dan berangkat kamisan bersama.
Rainy menjelaskan bahwa kasus Marsinah dapat tergolong
femisida dan ada aspek politik di dalamnya. Karena femisida bermuatan politik
yang digunakan dalam rangka menjatuhkan mental untuk menunjukkan kekalahan
perempuan secara simbolik.
Kekerasan yang mengakibatkan kematian seorang
perempuan ini tidak bisa dianggap sepele dan harus jadi perhatian oleh segala
ranah masyarakat karena kita tidak pernah tahu kapan dan di mana itu akan
terjadi. Selain menjadi tanggung jawab semua pihak dalam menciptakan lingkungan
yang aman, tanggung jawab atas diri sendiri sangatlah penting. Sangat percuma
jika lingkungan sudah sedemikian mungkin menjaga satu sama lain, tetapi korban
tidak memedulikan diri sendiri. Ketika perempuan sudah merasa dirinya terancam,
lebih baik segera melapor atau meminta pertolongan untuk dilindungi kepada
orang-orang yang dipercayainya. Karena pada dasarnya, perempuan diberi kepekaan
atas rasa serta tingkat emosional yang cenderung lebih tinggi, seharusnya
kelebihan tersebut dapat digunakan sebaik mungkin dalam rangka proteksi diri.
Komentar