Dilema Jurnalis Isu Pelecehan dan Kekerasan Seksual Berujung Dosa
Dilema Jurnalis Isu
Pelecehan dan Kekerasan Seksual Berujung Dosa
Konde.co menyuguhkan kegiatan
diskusi bulanan yang menghadirkan jurnalis-jurnalis mengenai isu kekerasan
seksual juga untuk mengapresiasi atas kerja-kerja jurnalis perempuan di Indonesia.
Pada 27 Februari lalu, Konde.co membuat diskusi dengan nama Jurnalis
Bicara dan Menulis Isu Kekerasan Seksual di Media yang diadakan di Gedung
Komnas Perempuan, Menteng, Jakarta Pusat.
Diskusi ini dihadiri oleh
jurnalis-jurnalis ibu kota, diantarnya, IDN Times, CNN, Remot TV, AJI,
Konde.co, Jakarta Post, dan beberapa pers kampus. Desi
Ardiana (Senior Assignment Editor CNN TV) dan Evi Mariani (Managing
Editor The Jakarta Post) menjadi pembicara pagi itu. Mereka berbagi cerita
lika-liku menjadi jurnalis senior dalam memberitakan kasus-kasus kejahatan
seksual di mana perempuan yang menjadi korban, cara menulis, dan etika dalam
menulis berita yang spesial ini.
Kasus kejahatan seksual terharap
perempuan terjadi setiap hari, pula diberitakan hampir setiap hari di
media. Tentu saja ada orang-orang pusing di balik terciptanya berita-berita
tersebut. Isu kekerasan seksual menjadi yang paling sensitif dan memiliki
teknik penggarapan yang spesial daripada yang lainnya dan harus diusut sampai
tuntas.
Menjadi jurnalis yang menulis
isu-isu tentang perempuan dan juga seorang perempuan ternyata banyak sekali dilema
yang didapatkan. Harus amat sangat hati-hati dalam menulis dan banyak yang
harus diperhatikan. Salah sedikit bisa menggiring opini ke lain arah. Tidak boleh
keluar dari konteks awal karena nanti kasusnya jadi melebar dan tidak lagi
relevan. Apalagi dibumbui dengan soft news yang tidak penting dan malah
memojokkan korban menjadi victim blaming.
Dalam menulis berita kekerasan
seksual terhadap perempuan tidak memiliki jangak waktu yang biasanya disebut
dengan deadline. Karena penulisannya melalui proses yang panjang, bisa
dua bulan lebih, mungkin juga tahunan hingga menunggu proses hukum berlaku. Berita
semacam ini harus solid dan tidak boleh setengah-setengah. Hal yang membuat
proses penggarapan berita ini terkesan
lama selain proses hukum adalah kesiapan korban untuk bercerita. Jurnalis sering
dihadapi oleh dilema semacam kesiapan korban dalam menceritakan apa yang mereka
alami. Ada beberapa korban yang berani sampai menyerahkan data diri mereka
dengan lengkap demi keadilan dan ada juga yang bungkam seribu bahasa. Di satu sisi,
terdapat pedoman penulisan berita yang harus ditaati, seperti tidak boleh
mengungkapkan profil korban.
Selain profil korban yang harus
dijaga, seorang jurnalis juga tidak diperkenankan mewawancarai korban di bawah
umur dan atau korban yang masih mengalami trauma. Walau keluarga dari korbannya
sendiri yang mendesak, tapi tetap ada etika yang harus dijaga.
“Jangan sampai kekecewaan yang
saya pernah alami terjadi. Pernah ada satu jurnalis muda yang ambisius. Kerjanya
bagus, beritanya komplit dan utuh, tapi dia mewawancarai korban yang belum
pulih. Saat itu saya kecewa dan merasa gagal menjadi senior karena lupa memberi
pedoman yang benar dalam mencari subyek untuk diwawancara,” ujar Desi selaku Senior
Assignment Editor di CNN.
Hal ini sangat dihindari agar
tidak terjadinya kejadian yang tidak diinginkan. Tidak menutup kemungkinan
korban yang belum siap diwawancara merasa terpaksa membuka memori kelam dalam
dirinya lalu menjadi stres, timbul beban moral dan jadi masalah baru yang
jurnalis tidak bisa bantu. Bisa juga pernyataan yang keluar dari korban malah
menjadi boomerang lalu dimanfaatkan oleh pihak luar yang berniat jahat. Jurnalis
tidak bisa menjamin apa-apa, maka harus lihat-lihat juga siapa yang
diwawancara. Tidak semudah itu mewawancarai korban. Berita juga bisa dibuat
tanpa adanya pernyataan korban dan diganti dengan pernyataan polisi, saksi,
bahkan ke pelakunya.
Pemilihan bahasa dan ungkapan
dalam menulis berita kekerasan seksual pada perempuan harus konkrit dan detail.
Karena masyarakat di Indonesia belum bisa memahami bahasa yang berat,
masyarakat belum bisa mendapatkan esensi dari berita itu sendiri jika beritanya
tidak mengandung kata-kata yang dimengerti publik luas. Jika dalam jurnalistik
dalam menggambarkan suatu adegan harus dengan paduan kata yang baik tanpa
mengandung ambiguitas, tetapi ternyata hal tersebut tidak mengundang simpati
dari masyarakat.
Contohnya, ada perempuan mengaku
dadanya diremas oleh laki-laki yang tidak dikenal. Kalau dalam tulisan agar
sopan diganti jadi disenggol (terpegang) dadanya, pasti publik mengiranya hanya terkena
senggolan, mungkin tersikut dan tidak sengaja.
Pagi itu Evi selaku managing
editor Jakarta Post menjelaskan, “Seorang mahasiswi dipojokkan oleh dosennya
sendiri. Orang mikir, ya, paling sekadar mojok ngegoda-goda minta nomor whats
app. Tapi yang terjadi, dia dipojokkan dan dosennya itu menggosokkan alat
kelaminnya dari balik celana. ‘kan terlalu menjijikan kalau dalam artikel
ditulis seperti itu, tapi itu lah esensinya, di situ titik di mana publik bisa
paham dan simpati.”
Jurnalis dari Remot TV
menambahkan, banyak juga ilustrasi yang menggambarkan korban perempuan
seolah-olah ‘bersalah’ dan ilustrasi itu tetap dinaikkan karena rating
dan pembaca atau publik lebih suka sesuatu yang mengundang. Seperti ilustrasi
wanita dengan kuku berwarna merah menyala dalam berita pelecehan seksual,
pikiran publik malah teralih menjadi salah si perempuan karena mereka
berpenampilan menggoda, padahal aslinya tidak seperti itu. Itu hanya ilustrasi
demi menarik pembaca atau istilahnya clickbait dan itu salah.
Seorang jurnalis harus netral
dalam artian tidak boleh memihak. Ini bagian dari dilema yang cukup berat.
Dalam memberitakan kasus kekerasan terhadap perempuan, etika jurnalistik yang
mengedepankan sikap netral tidak bisa dilakukan. Ruang harus diberikan pada
korban dan hanya sedikit ruang yang diberikan pada pelaku. Tidak dapat
disamaratakan.
“7 paragraf untuk korban,
pelakunya mungkin hanya 3. Nggak bisa, tuh, dikasih 7 banding 7
paragraf.”
“Jurnalis mempunyai tugas merubah
presepsi dan stigma korban pelecehan seksual yang oleh publik namanya sudah
rusak.”
Jurnalis juga dihadapi dilema
dalam penulisan nama korban. Ada korban yang dengan berani minta diungkap
namanya demi keadilan. Tetapi banyak berita yang malah menutupi nama pelaku
seolah-olah menjaga privasi si pelaku. Sebenarnya, menulis nama pelaku dalam
berita dapat dikenakan pasal pencemaran nama baik selagi orang yang
disebut-sebut sebagai pelaku itu belum ditetapkan sebagai pelaku oleh pihak
yang berwajib. Kalau dari logika, bagaimana bisa dikatakan pencemaran nama baik
jika orang itu sendiri yang mencemarkan nama baiknya dengan berbuat tindakan yang
biadab?
Ada juga pelaku yang mempunyai
jabatan juga back up dari orang-orang ternama. Tanpa mengurangi rasa
hormat, semua jurnalis juga segan dibuatnya. Semenjak UU ITE berlaku, penulisan
nama baik pelaku atau pun korban jadi masalah yang agak berat, jadi belakangan
ini hanya diberi inisial dari nama mereka. Apesnya, netizen yang serba ingin
tahu bisa kapan saja berubah menjadi FBI lewat jalan stalker dan publik
sendiri yang membuka identitas korban dan pelaku. Ketika nama korban sudah
diketahui, berita-berita yang ada di hari berikutnya jadi tidak laku lagi kalau
masih menggunakan inisial, istilahnya berita itu sudah basi, publik sudah tahu
siapa yang dirahasiakan. Berpengaruh juga dengan income dari perusahaan
yang menurut untuk menjaga etika sebagai jurnalis untuk merahasiakan nama selagi
pihak yang berwajib belum mengeluarkan pernyataan apa-apa.
Seorang jurnalis independen AJI
bidang vidiografi menceritakan pengalamannya dalam meliput korban-korban
kekerasan seksual. Masalah yang dialami juga kurang lebih sama dengan apa yang
sudah diceritakan jurnalis lainnya sampai akhirnya dia berhenti meliput korban
karena rentan sekali masalah-masalah yang lain di luar itu masuk menjadi
bencana. Sekarang ia lebih fokus pada meliput dari sisi pelakunya saja. Pelaku yang
seharusnya dihakimi dan sadar bahwa perilaku yang sudah dilakukannya salah. Karena
seorang jurnalis memiliki tugas utama yaitu memberitakan kepada publik atas apa
yang terjadi. Jurnalis memberitakan hal yang terjadi dan hal itu harus dilihat
dari berbagai sisi. Jurnalis yang bertujuan ke publik bukan berarti bisa
dijadikan alat untuk balas dendam si pelaku karena hal ini kadang terjadi,
ketika korban meminta media untuk memberikan ruang bagi mereka melakukan balas
dendam dan malah jadi boomerang bagi si korban sendiri. Jika ingin
membalas dendam lebih baik meminta perlindungan pada lembaga hukum, bukan pada
jurnalis.
Pekerjaan sebagai jurnalis tidak
bisa dipandang dengan sisi idealis yang tinggi. Jurnalis tidak bisa memaksa
korban untuk terbuka, harus ada waktu yang tersedia sampai korban berani. Seseorang
akan merasa depresi dan menaggung beban moral dan berujung sakit mental. Jika sudah
seperti itu siapa yang mau tanggung jawab?
Sebaik apapun support system
yang korban punya, tetap saja ada waktu di mana korban sendirian, merenung,
depresi, walau maksud dari jurnalis baik dalam membantu mengungkap kejahatan
yang ia alami, tetapi tetap ada pihak luar yang membuat jalan tidak mulus. Kira-kira
seperti itulah yang dirasakan oleh jurnalis kekerasan seksual terhadap
perempuan. Kalau salah jalan sedikit, apa yang diberitakan bisa menjadi dosa
yang tidak bisa dimaafkan.
Komentar